Suatu kali beberapa pemain berdoa bersama. David Beckham bertanya kepada Yang Mahakuasa, ”Kapan Inggris bisa jadi juara dunia?” Yang Mahakuasa menjawab, ”Tahun 2014.” Beckham pun menangis.
Giliran Cristiano Ronaldo bertanya, ”Kapan Portugal jadi juara dunia?” Yang Mahakuasa menjawab, ”Tahun 2022.” Ronaldo pun menangis. Kemudian Park Ji-sung bertanya kapan Korea Selatan mampu jadi juara dunia? Yang Mahakuasa menjawab, ”20 tahun lagi.” Dan, Park Ji-sung pun menangis.
Tiba giliran Bambang Pamungkas bertanya, ”Kapan Indonesia juara dunia?” Kali ini Yang Mahakuasa yang menangis dan menjawab, ”Kalau mimpi kira-kira, dong.”
Mohon maaf jika gurauan ini membawa-bawa nama Yang Mahakuasa. Ini kegalauan teman pencinta tim nasional yang memprihatinkan prestasi Bambang dan rekan-rekannya di penyisihan Piala Dunia 2014 dan juga cemas timnas SEA Games mendatang gagal mempersembahkan emas.
Ketika tampil di Teheran melawan Iran, timnas tampil lumayan. Setidaknya gaya main mereka agak jelas dan muncul harapan untuk mengalahkan Bahrain ataupun Qatar—dua tim Teluk Persia yang pernah kita taklukkan.
Apalagi, para pemain berhasil mengatasi tiga masalah di Teheran: cuaca, fisik, dan tekanan penonton. Oleh karena itu, muncul optimisme kita mampu membekuk Bahrain di Gelora Bung Karno (GBK).
Apa lacur, di GBK, timnas kehilangan elan. Wajar penonton kesal dan tak heran Pelatih Wim Rijsbergen marah sampai mengeluarkan kata-kata yang dianggap kurang pantas dilontarkan.
Tak lama setelah itu tujuh pemain mengancam mogok tak mau tampil jika Rijsbergen tetap melatih. Ini sikap tidak etis, seolah hanya mereka yang layak mengenakan seragam merah-putih dengan lambang Garuda di dada.
Saya usul kepada beberapa fungsionaris PSSI agar menindak tegas ketujuh pemain itu. Ketika Beckham melawan, Manajer MU Sir Alex Ferguson melempari dia dengan sepatu sampai kepalanya benjol. Bukan rahasia lagi atlet Korea Selatan atau Jepang dipukuli pelatih jika melawan pelatih.
Anehnya, keinginan para pemain itu diakomodasi. PSSI kehilangan wibawa karena para pemain dibiarkan memegang kendali dan tak mustahil pada masa mendatang mereka akan memanfaatkan ketiadaan wibawa ini.
Pemain nasional ibarat prajurit yang siap membela nama negara dan bangsa tanpa pamrih serta mematuhi hierarki organisasi, titik. Apalagi, mereka tak bisa mengeluhkan kesejahteraan karena mendapat kenaikan gaji tiga kali lipat.
Nah, itulah awal dari krisis kepemimpinan PSSI saat ini karena keengganan bersikap tegas menegakkan aturan. Krisis semakin parah setelah muncul persoalan demi persoalan yang makin melenceng dari reformasi.
Misalnya, soal kompetisi yang sejumlah keputusannya maju dan mundur, mulai dari jadwal, jumlah klub yang memenuhi syarat, sampai pembagian wilayah. Bahkan, sempat terjadi kelucuan karena perbedaan sikap antara Ketua Umum PSSI dan Ketua Komite Kompetisi PSSI.
Sikap PSSI terhadap klub atau anggota PSSI juga maju-mundur. Ada kesan, PSSI menyerah kepada kepentingan-kepentingan sejumlah klub yang enggan mengikuti aturan AFC dalam rangka memutar kompetisi yang profesional.
Lima syarat AFC (personel/administrasi, infrastruktur, legal, sporting, dan finansial) yang berkaitan dengan profesionalisme dijadikan ajang tawar-menawar. Padahal, kita sama-sama tahu tak sedikit klub/anggota PSSI yang sejak dulu sering berperilaku seenaknya.
Kemudian ada lagi keanehan lain, yakni jumlah pengurus yang malah membengkak—padahal reformasi menghendaki jumlah yang ramping. Belum lagi menyebut ada nama-nama lama yang sebaiknya tidak lagi diberikan peranan dalam organisasi karena track record yang tanda tanya.
Alhasil, reformasi PSSI sami mawon dengan reformasi politik di negeri ini. Kita hanya mengganti rezim, bukan sistem. Malah, kini terkesan yang terjadi deformasi alias ketidakjelasan wujud mau dibawa ke mana sepak bola kita?
Kondisi memprihatinkan perlu diingatkan lagi karena perjalanan reformasi sudah panjang dan melelahkan. Butuh waktu hampir dua tahun mewujudkan reformasi, yang disimbolkan dengan upaya bersama mencegah Nurdin Halid mencalonkan diri sebagai ketua umum PSSI ketiga kalinya.
Sayang jika momentum reformasi terlewatkan. Tanda-tanda reformasi terancam gagal akan tecermin dari animo pencinta datang ke GBK menyaksikan timnas melawan Qatar dan Iran kelak.
Lebih penting lagi, apakah kompetisi baru akan mengoreksi kegagalan profesionalisme LSI? Lalu apakah ketidaktegasan kepemimpinan pada akhirnya memicu klub/anggota menuntut dilakukannya koreksi melalui kongres luar biasa?
Ada baiknya PSSI memperhatikan sebuah hal penting lain, yakni menyelesaikan audit terhadap pertanggungjawaban keuangan pengurus lama sesuai tuntutan reformasi. Masih ada waktu bagi PSSI untuk mengoreksi diri, jika perlu mengambil langkah drastis sesuai tuntutan reformasi.
Salah satu langkah, Ketua Umum PSSI harus bekerja lebih keras dan bersikap lebih tegas. Ia mesti mengurangi aktivitas yang bersifat seremonial dan lebih konsentrasi pada masalah-masalah substantif yang perlu keputusan cepat dan tepat.
0 komentar:
Posting Komentar