Banyak hal menarik yang bisa dicoba setiap kali bertandang ke ibu kota Negeri Ginseng ini, salah satunya adalah wisata kuliner. Makanan di pinggir jalan di Seoul memiliki berbagai aroma yang mengundang rasa lapar. Selain itu, makanan Korea sering dianggap makanan sehat karena rendah kalori.
Makanan pinggir jalan yang tidak boleh dilewati adalah odeng. Ini mungkin bisa dibilang seperti gorengan di Indonesia. Jenis odeng yang paling populer adalah kue ikan olahan yang direbus dalam kaldu dan disajikan dalam bentuk sate. Harga satu tusuk sekitar 800 sampai 1500 won, tergantung lokasi dan jenis odeng.
Odeng yang dijual menggunakan kereta tenda atau biasanya disebut pojangmacha.
Odeng biasanya bisa ditemui hampir di setiap sudut kota dan dijual menggunakan kereta tenda yang biasa disebutpojangmacha. Menyantap odeng sambil menyeruput kuah kaldu panas-panas sangat nikmat, apalagi jika belum sarapan pagi. Tanpa terasa, saya bisa menyantap empat tusuk odeng.
Saat menuju Ewha University, jajanan pasar pun semakin menjadi-jadi. Mulai dari kue panekuk, ramyeon, sampaitopokki. Impian saya untuk mencoba ramyeon di panci seperti dalam drama Korea akhirnya kesampaian. Disajikan dengan kimchi, ramyeon cumi dan tauge ini menjadi mie terpedas yang pernah saya coba.
Selesai ramyeon, keringat saya semakin mengucur karena melahap topokki. Saya sengaja memuas-muaskan diri makan topokki. Di Jakarta, topokki bukan lagi menjadi makanan pinggir jalan tetapi sajian restoran di mal. Harganya pun jadi mahal. Sekitar Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu. Sedangkan di Seoul, hanya sekitar Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu. Dan, dari segi rasa, tentu pedasnya lebih 'nendang' di tempat asal.
Makan ramyeon pinggir jalan.
Makanan pinggir jalan yang tidak boleh dilewati adalah odeng. Ini mungkin bisa dibilang seperti gorengan di Indonesia. Jenis odeng yang paling populer adalah kue ikan olahan yang direbus dalam kaldu dan disajikan dalam bentuk sate. Harga satu tusuk sekitar 800 sampai 1500 won, tergantung lokasi dan jenis odeng.
Odeng yang dijual menggunakan kereta tenda atau biasanya disebut pojangmacha.
Odeng biasanya bisa ditemui hampir di setiap sudut kota dan dijual menggunakan kereta tenda yang biasa disebutpojangmacha. Menyantap odeng sambil menyeruput kuah kaldu panas-panas sangat nikmat, apalagi jika belum sarapan pagi. Tanpa terasa, saya bisa menyantap empat tusuk odeng.
Saat menuju Ewha University, jajanan pasar pun semakin menjadi-jadi. Mulai dari kue panekuk, ramyeon, sampaitopokki. Impian saya untuk mencoba ramyeon di panci seperti dalam drama Korea akhirnya kesampaian. Disajikan dengan kimchi, ramyeon cumi dan tauge ini menjadi mie terpedas yang pernah saya coba.
Selesai ramyeon, keringat saya semakin mengucur karena melahap topokki. Saya sengaja memuas-muaskan diri makan topokki. Di Jakarta, topokki bukan lagi menjadi makanan pinggir jalan tetapi sajian restoran di mal. Harganya pun jadi mahal. Sekitar Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu. Sedangkan di Seoul, hanya sekitar Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu. Dan, dari segi rasa, tentu pedasnya lebih 'nendang' di tempat asal.
Makan ramyeon pinggir jalan.
Seperti inilah bentuk topokki.
Setelah makan pagi dengan makanan pinggir jalan, saya memutuskan makan siang ala tradisional Korea yang lengkap dengan banchan (makanan pembuka yang banyak) dan camilan penutup yang manis (es krim kacang merah atau es kopi). Disajikan dalam piring-piring kecil, banchan ini mengingatkan saya seperti makan di restoran Padang. Bedanya, kalau di sini, makanan pembuka ini bisa diminta tambah berulang kali tanpa dikenakan biaya tambahan.
Dari makanan pembuka ini, saya selalu menyantap habis kimchi, namul (sayuran yang dikukus dan hanya dibumbui oleh minyak wijen) dan joen (goreng-gorengan). Di sini juga kesempatan saya menenggak soju. Buat yang tidak kuat dengan kadar alkohol tinggi, bisa memesan mixed soju. Menurut sepupu yang bermukim di sana, cranberry soju adalah campuran soju yang paling populer.
Makanan khas Korea dengan banyak hidangan pembuka dan soju.
Menjelang makan malam, saya memutuskan untuk mencari restoran yang agak bergaya. Saya pun menuju Apkujong. Mui-Mui café, restoran yang terletak di 653-4, Sinsa-dong, Gangnam District, Seoul selatan ini menjadi pilihan mengisi perut.
Menu di kafé ini sebenarnya cocok buat tamu yang ingin nongkrong lama karena kebanyakan pilihan makanan dan minumannya ringan. Tipikal orang Indonesia, saya perlu nasi karena hari itu sama sekali belum diisi nasi. Pilihan menunya pun tidak seperti tipikal rumah makan Korea yang memberikan makanan pembuka super banyak. Menu makanannya cukup bervariasi, mulai dari masakan Italia sampai hidangan Asia. Saya pun memilih Bulgogi rice dan teh ginseng.
Kafe Mui-Mui yang menjadi tempat nongkrong asyik buat profesional muda.
Suasana restoran yang bernuansa minimalis ditambah musik chillout dari José Padilla dan Groove Armada membuat makan malam yang menyenangkan. Jika dilihat dari pengunjung yang datang, Kafé yang baru dibuka Maret 2009 ini tampaknya merupakan tempat nongkrong para yuppies setelah jam pulang kantor. Harga di restoran yang sepintas mengingatkan akan Dragonfly di Jakarta ini juga cukup terjangkau. Untuk dua pesanan itu, saya harus membayar 26 ribu won (sekitar Rp 260 ribu).
Strawberry segar berukuran besar yang tersedia di kios kecil.
Setelah lelah berkeliling Apkujong, saya pun membeli strawberry di salah satu kios kecil di situ. Seperti juga toppoki, menyantap strawberry segar, manis dan super besar dengan harga terjangkau hanya bisa dinikmati di negara-negara empat musim. Buah ini buat cemilan saya di hotel nanti.
0 komentar:
Posting Komentar