Minggu, 02 Oktober 2011

Sudah Punya 3 Anak, Ternyata Suami Gay


ilustrasi



Saat melihat sang suami, MI (40), tidur berpelukan mesra dengan sesama jenis, tubuh SW (35) langsung lemas. Otot-ototnya serasa lepas dari persendian. Kedua kakinya tak sanggup lagi berdiri menopang beban tubuh.

Sembari duduk di kursi dekat kamar tempat sang suami bermesraan dengan pasangan gay-nya di salon Driyorejo, SW perlahan-lahan mencoba menguatkan diri untuk pulang dan bertemu dengan anak-anaknya.

“Saya lihat pria itu merangkul ... (MI) seperti memeluk guling. Mesra sekali,” ujarnya. Anehnya, lanjut SW, “Sampai saya melihat adegan itu, dia tidak mengejar saya seperti layaknya suami yang berniat menyelamatkan keluarga. Dia malah bilang buat apa saya mendatanginya,” ungkapnya.

Sejak kejadian itu, pasutri MI dan SW yang sudah membina rumah tangga selama hampir 13 tahun mulai pisah ranjang. Di mata SW, suaminya lebih memilih pasangan gay-nya ketimbang memperbaiki rumah tangga. Lebih dari itu, ia merasa ditelantarkan karena hasil perjuangan membangun salon bersama hanya dikuasai suami.

Untuk menghidupi dua dari tiga anaknya, SW terpaksa menjadi tukang parkir. Karena merasa dianiaya lahir batin, SW pun memilih melaporkan kejadian itu kepada anggota Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim Polrestabes Surabaya. Ia melaporkan suaminya melakukan kekerasan psikis dan menelantarkan keluarga.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Selasa (20/9/2011), Kasat Reskrim AKBP Indarto melalui Kanit PPA AKP Suratmi menyatakan, “Kami sudah menerima laporan. Sementara ini, kami masih memeriksa terlapor.”

SW dinikahi MI pada 10 April 1998. Pernikahan itu membuahkan tiga anak, dua perempuan dan satu lelaki. Sejak perselisihan, dua anak perempuan ikut SW, sedangkan anak bungsu laki-laki ikut MI.

Pada awal membina rumah tangga, SW mengenal sosok MI yang berbadan kekar sebagai lelaki penyayang keluarga. Mereka membangun rumah sederhana di kawasan Manukan Tengah. “Kami tinggal di situ, punya tiga anak. Kami hidup dari nol lalu membangun usaha salon dan tata rias pengantin. Semuanya berjalan normal dan membahagiakan,” tutur SW.

Usaha salon itu kemudian berkembang pesat meski pasutri ini tak punya pengalaman di bidang salon. “Alhamdulillah usaha kami maju hingga bisa membuka cabang di kawasan Driyorejo, Gresik. Pokoknya, saya bahagia dengan kehidupan keluarga dan usaha saya waktu itu,” imbuhnya.

Pada masa-masa indah itu, tak ada hal-hal yang membuat SW curiga. Hanya saja, MI jarang memberikan nafkah batin. MI sering keluar malam sekitar pukul 23.00 dan baru kembali subuh. Meski demikian, SW tidak komplain karena menganggap MI punya banyak teman yang harus dilayani.

Demikian pula saat hubungan badan yang rata-rata hanya berlangsung dalam hitungan menit, ia tidak mempermasalahkan karena menganggap suaminya lelah setelah bekerja. Dia juga tak curiga kalau suaminya gay karena sudah memberinya tiga anak.

“Dari dia saya melahirkan tiga anak yang pintar dan lucu-lucu. Dua anak perempuan saya yang merawat, satu lelaki sekarang dirawat dia,” kata perempuan yang kini tinggal di kawasan Manukan itu.

Badai mulai mengembus bahtera rumah tangga SW sejak Juli 2010. Percekcokan dari hal-hal sepele mulai terjadi. Namun, saat itu, ia belum curiga. Puncaknya adalah ketika ia memergoki sang suami tidur bersama pria di salonnya.

Selain melapor ke polisi, SW sudah mendaftarkan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Surabaya. “Saya sudah tak sanggup lagi dengan situasi ini. Tidak ada nafkah lahir batin yang saya terima dari ... (MI). Kasihan anak-anak. Makanya saya pilih cerai saja,” tandasnya.

Kini, untuk menyambung hidup, SW rela menjadi penjaga parkir demi anak-anaknya. Padahal, sebelum rumah tangganya hancur, SW dikenal sebagai perias pengantin serta pemilik salon maju dan sukses.

Perlahan-lahan ia juga mulai kembali merintis usaha salon karena merasa keterampilan memotong rambut masih bisa dimanfaatkan untuk mencari nafkah. “Apa saja saya lakukan yang penting halal,” katanya.
sumber