Kamis, 20 Oktober 2011

Pasukan Bunuh Diri NAZI itu Disebut Skuadron Leonidas

Jerman Nazi semasa Perang Pasifik rupanya juga memiliki unit bunuh diri yang dinamakan Selbstopfereinsatz. Satuan bunuh diri dibentuk untuk menghentikan gerak maju pasukan Soviet, dengan tugas utama menghancurkan akses jalan.. Sebanyak 35 pilot meregang nyawa, sebagai wujud kesetiaan mereka.
Hanna Reitsch dengan tokoh idolanya. Hitler

Di luar Jepang dengan kamikaze-nya, di negara lain tak dijumpai taktik serangan bunuh diri dengan pesawat yang terorganisasi seperti kamikaze. Kalau pun ada, maka umumnya merupakan aksi individual para pilotnya sendiri. Dalam Perang Dunia II di Eropa, ketika Jerman Nazi melancarkan invasi terhadap Uni Soviet dengan Operasi Barbarossa-nya, maka berbagai laporan menyebutkan sejumlah pilot Rusia dengan sengaja menabrakkan pesawat mereka terhadap pesawat Luftwaffe yang menyerang dengan kekuatan besar. Namun aksi heroik tersebut tampaknya lebih dipicu oleh rasa putus asa bercampur kebencian terhadap agresor Nazi, dan bukannya karena perintah atau petunjuk resmi atasan atau lembaganya.

Begitu pula sewaktu Jerman Nazi dipukul mundur dan terdesak di front timur, dilaporkan para pilot Jerman acap menabrakkan pesawatnya ke pesawat pengebom Soviet, sehingga kedua-duanya jatuh. Kejadian seperti ini misalnya terjadi sekitar pertengahan April 1945, tatkala pasukan Soviet berhasil menyeberangi Sungai Oder dan mulai memasuki wilayah Jerman. Apabila laporan ini benar, maka sungguh ironis, sebab merupakan kebalikan dari apa yang terjadi sewaktu Barbarossa pertengahan 1941!



Patung pahlawan Yunani, Leonidas, yang kemudian menjadi nama Skadron Bunuh Diri Nazi.

Tetapi selain laporan aksi individu para pilot Rusia maupun Jerman, ternyata di lingkungan AU Jerman atau Luftwaffe pun dilaporkan pernah ada kesatuan serangan bunuh diri yang terorganisasi, meskipun tidak melembaga hingga tingkat tinggi seperti kamikaze Jepang. Sesudah pasukan darat Soviet mendesak pasukan Jerman dari Sungai Oder, mereka pun lalu berusaha memasuki wilayah Jerman dengan menyeberangi sungai ini. Mereka membangun sejumlah jembatan darurat, baik yang di atas permukaan sungai maupun yang di bawah permukaan air.

Skadron Leonidas

Untuk menghancurkan jembatan Soviet ini, maka salah satu Skadron Luftwaffe yang dikenal dengan nama Skadron Leonidas (Pemimpin Sparta yang pada 460 SM berhasil menahan pasukan Persia yang jauh lebih besar di celah Thermopylae di Yunani Tel gah. Leonidas dan 300 pasukannya bertempur sampai semuanya gugur termasuk dirinya sendiri). Skadron yang berpangkalan di Juterborg ini tampaknya bertindak sendiri dalam usaha menahan majunya Tentara Merah. Skadron pimpinan Letkol Heiner Lange ini menyebut kesatuan khususnya Selbstopfereinsatz, yang kira-kira berarti misi dengan kerelaaan mengorbankan dinsendiri, self-sacrifice mission.

Focke Wulf 190 yang menjadi andalan Leonidas Skadron.

Mereka yang bergabung menandatangani pernyataan yang diakhiri dengan kalimat, “bahwa saya memahami dengan amat jelas, misi saya niscaya berakhir dengan kematian”.Skadron Leonidas pada 16 April 1945 mengadakan “dansa perpisahan”, yang diikuti para pilotnya serta mengundang sejumlah wanita muda anggota Luftwaffe yang bertugas di kesatuan sinyal pangkalan ini. Hadir pula Mayjen Fuchs, panglima pasukan Jerman di wilayah itu yang dikabarkan “menahan air matanya” dalam acara perpisahan tersebut.
Messerschmitt 109

Pada 17 April pagi, berbagai jenis pesawat yang tersisa seperti Focke-Wulf 190,Messerschmitt 109, dan Junkers 88 diterbangkan untuk menggempur 32 jembatan atas air dan bawah permukaan yang sedang dibangun pasukan zeni Soviet di Sungai Oder. Mereka yang terbang pagi itu tak ada yang pulang ke pangkalannya Esoknya sejumlah pesawat diterbangkan lagi. Salah satunya, sebuah FockeWulf yang dipiloti Ernst Beichl disarati dengan bom 500 kg. Sasarannya adalah jembatan ponton di dekat Zellin.


Penerbangan intai kemudian melaporkan jembatan tersebut memang hancur. Begitu pula jembatan kereta api di Kustrin. Namun laporan yang menyebutkan 17 jembatan berhasil dihancurkan dalam tiga hari serangan Selbstopfereinsatz, dianggap terlalu dibesar-besarkan. Kritik menyebutkan 35 jiwa pilot dan pesawat yang hilang dalam taktik serangan seperti itu sungguh disayangkan, sebab tidak sebanding dengan keberhasilan serangan yang terbatas dan sifatnya pun cuma sementara. Padahal hari demi hari Luftwaffe semakin kekurangan pesawat maupun pilot, yang tidak mungkin tergantikan dalam situasi semakin keteter.

Sekalipun demikian Mayjen Fuchs tetap menyertakan nama para pilot tersebut dalam ucapan selamat ulang tahun untuk sang pemimpin, Adolf Hitler, yang jatuh pada 20 April. Hitler yang memperingati hari ulang tahunnya yang terakhir di dalam bungkernya itu, disebutkan amat menghargai “hadiah” tersebut, pengorbanan jiwa para pilotnya demi Jerman Nazi. Namun operasi ala kamikaze Jepang itu langsung dihentikan, karena pasukan tank Soviet pimpinan Marsekal Ivan Konev tak terduga menyerbu ke arah Berlin dari tenggara, sehingga pangkalan Luftwaffe di Juterborg terancam terlindas.

Usulan Hanna Reitsch

Sebelum taktik Selbstopfereinsatz itu dilancarkan pertengahan April 1945, maka gagasan serangan bunuh diri pernah diajukan kepada Hitler sendiri oleh perempuan penerbang legendaris Jerman Hanna Reitsch. Dalam pertemuan akhir Februari 1944 di Berghof, tempat peristirahatan Hitler di pegunungan Bavaria, Reitsch menyatakan roket V-1 yang dikembangkan untuk menghancurkan London, kurang akurat untuk mengenai sasarannya. Padahal Hitler menaruh harapan besar terhadap senjata rahasianya ini, yang disebutnya sebagai senjata pamungkas untuk mengalahkan Sekutu.

Roket tanpa awak ini dirancang mampu dimuati satu ton bahan peledak, untuk diluncurkan ke London atau kota-kota sasaran lainnya di Inggris. Roket V-1 yang mencapai kecepatan lebih dari 750 km/jam dengan ketinggian terbang 1,5 km ini, jarak jangkauannya dapat ditentukan dengan menyetel mesinnya terlebih dulu. Pada jarak yang diinginkan, mesinnya akan mati dan roket pun jatuh bersama peledaknya. Dengan muatan peledak yang begitu besar, setiap roket diharapkan dapat menghancurkan satu blok kota.

Hanna Reitsch mengusulkan agar roket secara tepat mengenai sasaran, maka haruslah diawaki. Pilot dapat mengarahkan roketnya ke sasaran strategis tertentu, sehingga tidak asal menjatuhi kota sasaran. Namun cara ini berarti si pilot akan tewas, meledak bersama roketnya. Untuk itu diperlukan relawan yang bersedia mati demi Hitler dan kemenangan Jerman Nazi. Terhadap usulan ini, Hitler semula bersikap skeptis. Tetapi Reitsch meyakinkan hal ini pasti bisa dilakukan. Akhirnya usulan ini disetujui dengan melalui uji coba. Roket diisi pasir sebagai pengganti bahan peledak.

Dalam uji coba terbang dan mendaratkan kembali roket, dua pilot ternyata gagal. Reitsch lalu membuktikan sendiri, dan berhasil. “Persoalannya cuma kedua pilot tadi tidak tahu bagaimana mendaratkan pesawat berkecepatan tinggi,” katanya. Walau Reitsch sudah membuktikan sendiri bagaimana mengendalikan V-1, tetapi proyek serangan bunuh dui dengan roket V-1 ini gagal dan dihentikan. Penyebabnya tak lain adalah tidak ada pilot Jerman yang mau menjadi relawan. Sehingga V-1 mulai menyerang London sejak 13 Juni 1944, atau satu minggu sesudah D-Day, tak pernah ada pilot Kamikaze Jerman yang berada di dalalamnya.



Ketika pasukan Sekutu merencanakan untuk melancarkan pendaratan di Normandia lewat Operation Overlord atau D-Day pada bulan Juni 1944 pasukan Nazi Jerman sebenarnya sudah bersiap menyambutnya. Seluruh warga Jerman termasuk Hitler sudah menyadari jika operasi itu berhasil keberadaan negeri Jerman pasti terancam. Untuk menggagallcan Operation Overlord, pimpinan Angkatan Udara Nazi Jerman, Luftwaffe, Herman Goering diam-diam membentuk unit serangan bunuh diri layaknya kamikaze. Pesawat yang digunakan untuk misi kamikaze Luftwaffe itu adalah Focke Wulf 190 yang dimuati born seberat lebih dari 1.500 kg dan kemudian ditabarkan kepada targetnya.

Sejumlah Bf-109 dalam posisi siap terbang tengah disiagakan di salah satu pengkalan. Sebagai pesawat termpur legendaris, Bf-109 digunakan hingga PD II berakhir.

Menerbangkan FW-190 bermuatan born seberat lebih dari 1.500 kg bukanlah perkara mudah. Selain berbahaya, bahkan untuk take off dan landing saja sangat sulit. Karena itu, tidak ada seorang pilot pun yang berani menerbangkannya. Hitler yang kemudian mengetahui proyek kamikaze Luftwaffe tersebut malah marah dan memerintahkan untuk menghentikannya. Bagi Hitler adalah tidak pantas para pemuda Jerman sampai menjalankan misi bunuh diri dengan hasil yang akan sia-sia belaka. Program kamikaze FW-190 pun berhenti bahkan komandan yang bertanggungjawab dipindahkan ke pos yang lain. Namun ketika Operation Overlord yang dilancarkan Sekutu ternyata berhasil dan pergerakannya mulai menuju tanah Jerman para petinggi Nazi pun kaget. Hitler bahkan baru menyadari perlunya dibentuk kekuatan khusus untuk menghadang gerak maju pasukan Sekutu di front Eropa Barat.

Tiga psikopat Nazi

Untuk mencegah hancurnya negeri Jerman, Hitler lalu memerintahkan militernya menciptakan mesin perang yang paling menghancurkan guna menahan gerak laju pasukan Sekutu tersebut. Perintah Hitler langsung disambut baik oleh tiga tokoh Nazi Jerman yang terkenal sangat fanatik terhadap Hitler tapi juga dikenal sebagai tokoh psikopat. Ketiga orang itu adalah Hanna Reitsch pilot uji perempuan yang sangat populer dan pernah menjuarai berbagai perlombaan pesawat glider; Otto Skorzeny, jagoan strategi tempur yang beberapa kali sukses melaksanakan aksi khusus; dan Hans Joachim Hermann atau lebih dikenal dengan nickname Hajo Hermann pilot pengebom yang sangat berpengalaman serta dikenal pula sebagai pilot tempur malam (night fighter) paling profesional.

Ketiga orang itu mengusulkan adanya pilot yang bertugas menyerang sasaran musuh dengan cara menabrakkan pesawatnya (suicide pilots). ‘ide pilot yang bertempur dengan semangat fanatik itu ternyata terinspirasi oleh serangan kamikaze yang telah dilakukan pilot-pilot Jepang. Ketika dirunut dari latar belakang sejarahnya, kamikaze ternyata berkaitan erat dengan propaganda Nazi, totenritt atau death ride (perjalanan kematian). Dengan latar belakang seperti itu, ketiga tokoh psikopat ini kemudian menyampaikan idenya kepada Hitler.

Sewaktu ide kamikaze itu disampaikan kepada Hitler, orang nomor satu Nazi yang sesungguhnya sudah kehilangan akal itu ternyata sekali lagi menunjukkan keengganannya. Tapi akhirnya Hitler setuju dan memberikan catatan agar jangan sampai para pilot kamikaze Luftwaffe diterjunkan ke medan perang tanpa melalui persetujuannya. Skadron kamikaze pun kemudian dibentuk dan dinamai Leonidas Squadron dan menjadi bagian dari unit khusus armada pengebom Luftwaffe, Kampfggrupe-200 (KG-200). Dalam sejarahnya Leonidas merupakan pejuang masa Yunani kuno dan merupakan Raja Sparta yang hidup pada masa 480 BC. Sebagai raja yang juga ahli strategi tempur, Leonidas yang hanya memiliki 300 prajurit berkualifikasi khusus dan berani mati berhasil menghentikan serbuan pasukan Persia yang jumlahnya ribuan. Semangat bertempur hingga mati itulah yang menjadi spirit bagi pilot-pilot Leonidas Squadron.


http://sejarahperang.files.wordpress.com/2011/01/jerman_0004b.jpg?w=267&h=161
Pesawat yang dibuat dengan meniru Ohka Jepang itu dikemudikan Web seorang pilot dan mampu melesat 650km/jam. Tampak pilot sedang membuka kokpit Fi-103.

Untuk menjalankan misi kamikaze, Leonidas Squadron menggunakan pesawat Fieseler Fi-103 Reichenberg yang juga merupakan varian dari roket Jerman yang digunakan untuk menghantam London, Inggris, V1. Sebagai pesawat kamikaze atau rudal yang dikemudikan orang, Fi-103 dilengkapi kokpit dan kemudi (flight control). Latihan untuk menerbangkan Fi-103 pun dimulai. Tapi latihan yang berisiko tinggi itu justru menghasilkan petaka. Dua pilot sukarelawan yang melaksanakan test flight terhadap Fi-103 tewas. Akibatnya tak ada sukarelawan yang bersedia untuk menerbangkan Fi-103 yang sudah dirancang dan dijagokan sebagai pesawat kamikaze. Namun, Hanna Reitsch yang telah kenyang pengalaman melaksanakan test flight tanpa ragu-ragu mengajukan diri untuk menerbangkan Fi-103 dan sukses. Tak hanya itu, Hanna Reitsch juga langsung mendaftarkan diri sebagai pilot kamikaze bagi Leonidas Squadron.

Berkat Hanna Reitsch yang sukses menerbangkan F1-103 sekaligus langsung mendaftarkan diri sebagai pilot kamikaze, para pemuda Jerman yang semula raguragu pun langsung terpengaruh. Lebih dari 70 pemuda Jerman secara sub rela mendaftarkan diri dan siap mati. Pelatihan sebagai pilot kamikaze pun mulai dilakukan diikuti produksi pesawat Fi-103 hingga mencapai 24 unit. Tapi dalam latihan terbang kamikaze para pilot Leonidas Squadron tidak didoktrin untuk menabrakkan diri ke target musuh melainkan diupayakan segera melaksanakan bail out begitu Fi-103 yang diterbangkan arah terbangnya sudah secara akurat menuju sasaran musuh.

Dalam praktiknya, bail out dalam kecepatan tinggi itu sebenarnya sulit dilakukan dan kemungkinannya kecil bagi pilot yang melompat untuk berhasil selamat. Yang jelas apa yang diajarkan kepada para pilot Leonidas Squadron memang berbeda dibandingkan dengan doktrin kamikaze Jepang. Para pilot kamikaze Jepang secara spiritual meyakini kematiannya sebagai tindakan heroik dan wujud kesetiaannya terhadap Kaisar sedangkan bagi Nazi Jerman, misi kamikaze yang akan dilancarkan oleh Leonidas Squadron sebagai tindakan sia-sia karena berakibat pada berkurangnya jumlah pilot Luftwaffe secera drastis. Selain itu, misi kamikaze yang hanya berdasar pada semangat fanatik plus psikopat dan sama sekali tidak ada unsur spiritualnya jelas akan merupakan tindakan konyol. Karena para pejabat Luftwaffe dan Hitler sendiri masih merasa jatuh kasihan, para calon pilot kamikaze Leonidas Squadron akhirnya tidak pernah dizinkan untuk terjun ke medan perang.

Skadron Kamikaze Baru

Ketika posisi Nazi Jerman betul-betul terdesak oleh kekuatan Sekutu khususnya ribuan pesawat pengebom yang terus-menerus menyerang daratan Jerman, semangat untuk membangkitkan serangan kamikaze muncul lagi. Merasa ada kesempatan, Hajo Hermann yang dulu bersama dua rekannya pernah membentuk Leonidas Squadron lalu menemui komandan pilot buru sergap (Head of The Fighter Command) Luftwaffe, Marsekal Adolf Galland. Di hadapan Marsekal Galland, Hajo Herman kemudian memaparkan rencananya untuk membangun lagi skadron kamikaze. Tapi ide Hajo Herman langsung ditolak mentah-mentah oleh Galland karena misi kamikaze untuk menyergap pesawat pengebom Sekutu yang dikawal ketat ratusan pesawat tempur akan sangat sulit dilakukan. Galland sendiri meragukan kemampuan dan pemahaman Hajo Herman dalam teknis buru sergap pesawat tempur mengingat pilot yang terkenal nekat itu lebih banyak menerbangkan pesawat pengebom. Hajo Herman yang kecewa berat lalu menemui komandan Luftwaffe Marsekal Herman Goering yang pernah menjadi mentornya di unit pengebom Luftwaffe.

Pilot-pilot Fw-109 Nazi Jerman sedang berjalan di depan deretan pesawat Fw-109 di salah satu pangkalan di Perancis. Sebagai pesawat tempur andalan Luftwaffe. Fw-109 kemudian difungsikan untuk serangan kamikaze.

Sebelum Hajo Herman menghadap Galland dan Goering, dua petinggi Luftwaffe ini sebenarnya bak musuh dalam selimut. Sebagai Marsekal yang dibesarkan oleh unit pengebom Goering merasa dirugikan oleh dominasi pesawat tempur yang berakibat pada dihentikannya produksi pesawat pengebom. Sebaliknya produksi pesawat tempur terus ditingkatkan bahkan para teknisi pesawat pengebom dipindahkan ke pabrik pemroduksi pesawat tempur. Sekarang, ketika posisi Nazi Jerman makin terdesak, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Goering untuk menjatuhkan semua penyebab kehancuran Luftwaffe kepada penanggung jawab komandan tertinggi pilot tempur Luftwaffe. Dalam kondisi di ambang kehancuran itu Galland memang tidak bisa berbuat banyak dan jika Hajo Hermann menemui Goering dengan rencana membentuk skadron kamikaze, ada kemungkinan rencana itu akan dikabulkan.

Sewaktu Hajo Herman mengajukan rencana tentang pembentukan skadron kamikaze kepada Goering, orang ketiga di tubuh Nazi Jerman itu sangat terperanjat karena pilot-pilot Lutfwaffe tidak pernah didoktrin untuk melancarkan serangan bunuh diri. Selain itu ada faktor lain yang juga makin membuat Goering pesimis karena infrastruktur Luftwaffe sudah lemah dan pilot yang bersedia menjadi pilot kamikaze belum jelas. Ide pilot kamikaze bahkan membuat perasaan Goering tidak enak karena cara kamikaze itu seolah mencerminkan dirinya tidak memiliki strategi lain yang lebih baik. Tapi ternyata tak ada pilihan lain bagi Goering yang pada awal serbuan Sekutu di Normandia pernah membentuk Skadron Bunuh Diri. Untuk menjawab ya atau tidak, Goering memutuskan hams menemui Hitler terlebih dahulu. Marsekal Goering sebenarnya ragu karena Hitler pernah marah besar pada Skadron Kamikaze FW-190 yang pernah dibentuknya.

Marsekal Adolf Galland dalam penampilan khasnya dan saat itu masih berpangkat mayor penerbang.Galland yang memiliki peliharaan anjing dan gemar mengisap cerutu berpakaian lengkap dan mengenakan jaket yang merupakan rampasan dari pilot Inggris yang tertawan. Galland termasuk tokoh yang tidak menyetujui adanya pilot kamikaze.

Kali ini Hitler ternyata menyetujui dibentuknya skadron kamikaze. Meskipun dengan perasaan berat hati dan pesimis apalcah bisa memperoleh pilot yang mau melaksanakan misi kamikaze, Goering akhirnya memaksakan diri untuk membentuk skadron bunuh diri. Goering pun mulai melaksanakan seleksi terhadap calon pilot kamikaze yang minimal memiliki pengalaman 50 jam ter-bang. Pendaftaran untuk menerima sukarelawan kamikaze pun dibuka tepatnya pada bulan Maret 1945. Di luar dugaan sukarelawan yang mendaftar ternyata mencapai jumlah 2.000 orang. Jumlah ini sangat mengagetkan Goering karena kini di hadapannya berdiri ribuan orang yang siap memberikan nyawanya demi negeri Jerman yang sesungguhnya tidak mungkin pilot andalan bagi 303rd Bombardment Group. Jika pesawat bomber yang dipiloti oleh Werner berhasil dijatuhkan oleh kamikaze Nazi akan kehilangan anak buah dan sekaligus seorang keponakan.

Dengan jumlah calon pilot kamikaze yang mencapai angka ribuan Goering pun meminta Luftwaffe agar menyiapkan sedikitnya 1.500 unit pesawat tempur. Tapi jumlah seperti itu mustahil dipenuhi karena semua kekuatan udara yang dimiliki oleh Luftwaffe di semua front tinggal 800 pesawat. Itu pun dengan suku cadang dan bahan bakar yang kurang memadai. Akhirnya hanya tersedia 180 pesawat bagi unit kamikaze dan rata-rata merupakan pesawat tua yang selama ini tidak lagi dioperasikan oleh Luftwaffe Me 109G-10, G-14, dan K-4.

Untuk melindungi pesawat-pesawatnya kamikaze itu dikerahkan pesawat tipe Me-262 dan FW-109 tapi jumlahnya sangat terbatas. Karena waktu untuk melaksanakan misi kamikaze tinggal sedikit, 24 pilot Kamikaze hanya menjalani latihan selama dua minggu dan selanjutnya diperintahkan untuk segera menyerang pesawat-pesawat pengebom AS.

Serangan kamikaze

Sebelum para pilot kamikaze diperintahkan terbang, Goering memberi pesan agar misi mereka bukan murni kamikaze. Caranya adalah terbang di ketinggian lalu menyergap bomber AS dari atas sambil menghujani tembakan. Jika pesawat bomber yang disergap masih tetap terbang selanjutnya pesawat penyergap diarahkan ke bomber dan menempel sedekat mungkin pada posisi rear gun bomber. Lalu dengan menggunakan baling-balingnya para pilot Nazi diperintahkan untuk memo-tong sayap bomber yang sekaligus merupakan tempat mesin dan bahan bakar. Dalam kondisi sayap terpotong, bomber AS dipastikan oleng dan jatuh.

Cara itu meskipun sulit dilakukan bisa memberi kesempatan pilot Nazi untuk bail out jika pesawatnya turut mengalami kerusakan atau tertembak. Sementara dua sasaran lain yang disarankan Goering untuk menjatuhkan bomber AS adalah menggesek sayap ekor yang merupakan pengontrol ketinggian dan penggerak utama rudder pesawat. Cara ini dianggap paling aman kendati pesawat kamikaze Nazi mudah tertembak senapan mesin bomber. Sedangkan cara ketiga adalah menghantamkan langsung pesawat ke kokpit bomber dengan peluang untuk bail out sangat kecil. Cara ketiga bisa dikatakan merupakan kamikaze murni karena baik pesawat bomber maupun kamikaze Nazi akan sama-sama hancur lebur.


Kendati dalam kondisi makin terdesak dan waktu yang makin menipis Goering masih sempat membentuk 3 Wing Kamikaze dengan jumlah pesawat Bf 109 sebanyak 60 unit. Pesawat jenis Bf 109 sengaja dipilih untuk melancarkan serangan kamikaze ala Nazi itu karena selain memilild dua senapan mesin khusus, fuselage dan bilah baling-balingnya terbuat dari baja. Tiga Wing kamikaze yang dinamai Sonderkommando Elbe itu akan bertugas menyergap konvoi bomber AS yang akan melaksanakan bombardemen di atas Berlin. Komandan Sonderkommando Elbe, adalah Mayor Otto Koehnke yang juga rekan akrab Goering sejak tahun 1940.

Koehnke pernah berjaya di front Rusia dengan keberhasilan menghancurkan 12 kereta api logistik sehingga berhak menyandang Knight Cross. Tapi Koehnke sempat mengalami kecelakaan serius sehingga kehilangan salah satu kakinya dan dibebastugaskan sebagai pilot tempur. Kini dengan salah satu kaki palsunya dan menyandang Knight Cross, Koehnke kembali bertugas bukan untuk meraih prestasi melainkan untuk menyerahkan nyawanya. Dengan melihat kenyataan bahwa komandan Sonderkommando Elbe bukan lagi orang yang utuh tubuhnya, Goering akhirnya mengambil alih komando.

Setelah melakukan persiapan termasuk memimpin briefing bagi para pilot tentang misi terakhir yang akan dijalankan, perintah untuk mencegat armada bomber AS pun tiba. Pada 7 April 1945 sebanyak 1.260 bomber (B-17 dan B-24 Liberator) AS yang dikawal 780 pesawat tempur jenis Mustang dan Thunderbolt yang berpangkalan di front Eropa Barat bergerak serentak untuk membombardir daratan Jerman. Konvoi ribuan pesawat tempur AS pembawa maut itu diamati secara cermat oleh Goering melalui radar. Ketika ribuan pesawat tempur AS itu mulai memasuki wilayah Belanda dan untuk selanjutnya memasuki ruang udara Jerman, Goering memerintahkan pilot-pilot kamikazenya untuk stand by.

Ketegangan dan kemasygulan pun menyelimuti wajah Goering karena kekuatan pesawat-pesawat kamikazenya jauh dari memadai. Hanya tersedia 120 pesawat dengan bahan bakar pas-pasan dan sejumlah pilot bahkan tampak kebingungan karena tak mendapatkan pesawat. Walaupun sudah menjalani briefing, strategi dan organisasi tempur untuk menyergap bomber-bomber AS belum jelas sehingga koordinasi dan komando di lapangan turut kacau. Tapi meskipun dalam kondisi yang masih kacau dan kurang koordinasi, tak ada pilihan lain bagi Goering untuk memberikan perintah terbang bagi para pilot kamikaze ketika pesawat-pesawat AS mulai memasuki ruang udara Jerman.



Sejumlah bomber B-17G dari unit 381 st Bomb Group yang baru saja melancarkan misi serangan dari Jerman tampak dikawal oleh satu unit pesawat tempur P-51 B . Pesawat P-51 B merupakan penyergap yang ditakuti pilot-pilot tempur Nazi Jerman.

Tepat pukul 11.15 Goering menembakkan pistol suarnya sebagai tanda dimulainya penyergapan terhadap pesawatpesawat bomber AS. Pesawat-pesawat kamikaze Nazi Jerman yang dipimpin oleh Hajo Hermann dan dikawal oleh 59 Me262 dan FW-109 pun melesat ke udara yang saat itu sedang mendung sehingga menjadi penghalang yang serius bagi pilot-pilot Nazi dalam menentukan sasarannya.

Ketika pesawat-pesawat kamikaze Nazi Jerman tengah berada di udara, inasih ada jarak sekitar 100 km untuk bertemu dengan armada bomber dan pesawat tempur AS. Semua pilot kamikaze Nazi memusatkan perhatiannya ke cakrawala untuk mencari-cari datangnya armada bomber AS . Untuk memompa semangat bagi para pilot yang hari itu kemungkinan besar akan kehilangan nyawanya radio pesawat mengumandangkan lagu-lagu patriotik dan lagu kebangsaan yang dinyanyikan oleh seorang biduanita.

Tapi pada kenyataannya untuk menemukan bomber AS yang jumlahnya ribuan ternyata tak mudah. Sejumlah pilot yang kurang pengalaman bahkan kehilangan navigasi, kehabisan bahan bakar dan terpaksa bail out. Sejumlah pilot lain bahkan bertemu dengan armada Mustang dan ditembak jatuh sebelum sempat beraksi. Kendati pesawat-pesawat tempur Nazi Jerman bisa terbang lebih tinggi tapi jejak asap mesinnya (contrail) bisa dideteksi pesawat-pesawat tempur AS sehingga mudah dijadikan sasaran tembak. Dalam waktu dua menit dua Bf-109 berhasil ditembak jatuh Mustang sehingga menimbulkan kepanikan bagi yang lainnya.

Namun kali ini para pilot tempur dan pengebom AS melihat teknik baru saat pesawat-pesawat tempur Nazi Jerman menyerang. Ketika dua Bf-109 menyerang pengebom dan dikawal oleh Me-262 dan langsung dicegat oleh Mustang terjadi pemandangan tak lazim Salah satu Bf-109 tiba-tiba menghujamkan diri ke salah bomber AS tepat di salah satu sayapnya disusul oleh pilot yang bail out. Bomber Liberator pun oleng dan terus menukik menghujam ke tanah Melihat cara menyerang pesawat-pesawat tempur Nazi Jerman yang nekat dan sulit dicegah itu, para pilot AS sadar bahwa pilot-pilot Nazi Jerman sedang mempraktikkan cara bertempur di udara yang baru.

Ilustrasi yang menggambarkan kesiapsiagaan para pilot Lutfwaffe setelah pasukan Sekutu berhasil merebut Perancis dan pasukannya terus bergerak maju menuj u Eropa Barat. Jerman kemudian menyiapkan skadron berani mati untuk menghadang bomber Sekutu

Sementara bagi Mustang juga sulit untuk menembak karena bisa mengenai teman sendiri. Salah satu korban serangan kamikaze Jerman adalah bomber yang dipiloti oleh Kolonel John Herboth dari 389 Bomber Group. Saat itu Bf-109 yang dipiloti Sersan Heinrich Rosner berhasil menggasak salah satu sayap bomber Kolonel Herboth Dalam kondisi Liberator yang terbang oleng, Herboth berusaha menstabilkan pesawatnya. Tapi gagal. Bomber Herboth yang terjun bebas bahkan menghantam bomber lain yang dipiloti oleh Letkol Kunkel hingga kemudian membuat keduanya meledak terbakar. Sementara itu, Rosner ternyata berhasil bail out sambil menyaksikan dua bomber yang menjadi korban kamikazenya meluncur jatuh menghujam tanah.

Lewat tengah hari (12.30) bentrokan antara pesawat-pesawat AS dan kamikaze Nazi berlangsung makin seru. Pilot-pilot kamikaze yang bertempur dengan rasa frustrasi karena menghadapi musuh yang terlalu banyak juga makin menunjukkan kenekatannya. Satu lagi Bf-109 berhasil menggasakkan diri ke Liberator sehingga langsung terbakar dan menukik jatuh. Satu Bf-109 yang terus dihujani tembakan dari Liberator hingga bodi pesawatnya penuh lubang bahkan berhasil mendekati Liberator lainnya dan menggasakkan diri tepat di kokpit. Ledakan hebat disusul kokpit yang menganga rontok mengakibatkan Liberator meledak terbakar dan meluncur jatuh. Para pilot Liberator yang menyaksikan pesawat jatuh masih berharap ada parasut mengembang dari rekan yang selamat.

Aksi nekat kamikaze Nazi Jerman diwarnai aksi dua rekan akrab yang sama-sama bersepakat untuk menabrakkan diri pada satu bomber dan mati bersama. Tapi salah satu pilot berhasil bail out dan mendarat selamat meskipun terdapat 19 lubang peluru di parasut dan jaketnya. Kisah-kisah heroik di tengah aksi nekat kamikaze Nazi Jerman terus saja berlangsung. Tapi hingga menjelang sore hari dan seluruh pesawat bomber AS dan pelindungnya akhirnya kembali lagi ke pangkalan, perlawanan kamikaze Nazi ternyata tidak menimbulkan efek yang berarti. Dan 120 pilot Rammkommando Elbe yang dikerahkan untuk melancarkan serangan kamikaze hanya tersisa 15 pilot yang hidup. Sedangkan bomber AS yang berhasil dijatuhkan hanya sekitar 13 unit. Jumlah yang sangat kecil mengingat bomber yang dikerahkan mencapai ribuan unit. Namun demikian kendati aksi kamikaze Nazi Jerman itu tidak mampu mengguncang kekuatan udara Sekutu mereka tetap dikenang dan dihargai. Luftwaffe kemudian membuat monumen khusus untuk mengenang para pilot muda yang gugur dan telah berbakti kepada negaranya hingga tetes darah terakhir.


sumber: Majalah angkasa